Sejarah dan Kebudayaan Suku Gayo Aceh - Pulau Sumatera
Potret Pengantin Pria Gayo
Pada Awal Abad ke-20
(foto: wikipedia)
|
Sejarah dan kebudayaan Suku Gayo Aceh. Suku Gayo adalah salah
satu etnis suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh
bagian tengah. Bagian wilayah suku Gayo meliputi kabupaten Bener Meriah, Aceh
Tengah dan Gayo Lues. Sebagian juga mendiami wilayah di Aceh Timur yaitu di
kecamatan Serba Jadi, Peunaron, dan Simpang Jernih. Masyarakat suku Gayo
beragama islam dan dikenal taat dalam beragama.
Suku Gayo suku tergolong ke dalam ras Proto Melayu yang berasal
dari India. Kedatangan bangsa ini diperkirakan datang ke Indonesia sekitar 2000
tahun sebelum masehi. Ciri khas dari bangsa ini adalah berkulit hitam, tubuhnya
kecil dan berambut keriting. Suku Gayo terdiri dari tiga kelompok yaitu
Masyarakat Gayo laut yang mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo
Lues yang mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang yang
mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.
Kata Gayo berasal dari kata Pegayon yang berarti tempat mata
air jernih dimana terdapat ikan suci (bersih) dan kepiting. Konon, dahulu
serombongan pendatang suku Batak Karo ke datang ke Blangkejeren dengan melintasi
sebuah desa bernama Porang. Di perjalanan mereka menjumpai sebuah perkampungan
yang terdapat sebuah telaga yang dihuni seekor kepiting besar, kemudian mereka
melihat binatang tersebut dan berteriak Gayo Gayo. Dari sinilah daerah tersebut
dinamai dengan Gayo.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Gayo. Bahasa tersebut mempunyai
keterkaitan dengan bahasa Suku Batak Karo di Sumatera Utara dan termasuk
kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari
rumpun bahasa Austronesia. Dialek bahasa Gayo memiliki beberapa variasi karena
pengaruh dari bahasa luar. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda
dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal
tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh
Timur. Sedangkan bahasa Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat
pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih
dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak
dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten
Aceh Tenggara.
Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo
Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik
merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari
subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi
sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut
jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut,
Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues,
Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat
berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan
dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Marga
Hanya sebagian kecil masyarakat Gayo yang masih mencantumkan
nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah Bebesen. Hal ini hanya untuk
mengetahui asal/Garis keturunan.
Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:
- Ariga
- Cibero
- Linge
- Melala
- Munte
- Tebe
- Alga
Sejarah
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang
Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari
Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan
anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari
raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era
kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua
seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali
Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka
negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara
ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii
atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan
Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di
Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu
bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah
Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah
Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh
penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut
riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege.
Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
- Adi Genali Raja Linge I di Gayo
- Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
- Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
- Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
- Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
- Raja Lingga III-XII di Gayo
- Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
- Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
- Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
- Raja Kalilong Sibayak Lingga
Kehidupan sosial
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut
kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung
disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional
berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja),
petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian
dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil
gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah
(klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang,
masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara
adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem
perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat
menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga
inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu
beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga
disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah
(klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri.
Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di
sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan
meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik,
menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun,
terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah
terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah
tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan
lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman
kerawang dengan motif yang khas.
Mata Pencaharian
Mayoritas masyarakat Suku Gayo bermata pencaharian utama
sebagai petani dengan hasil utamanya kopi. Selain itu, masyarakat Gayo
mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun serta kerajinan
membuat sulaman kerawang Gayo dengan motif yang khas. Masyarakat tradisional
Gayo menganut prinsip “keramat mupakat behu berdedele” yang bermakan kemuliaan
karena mufakat, berani karena bersama dan “tirus lagu gelngan gelas, bulet lagu
umut, rempak lagu re, susun lagu belo” yang bermakna bersatu teguh.
Seni Budaya
Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman
dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,
bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,
sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari
Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru
didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya
sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan,
gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh
suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu
nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam
berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan,
dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat
setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
Seni dan Tarian
- Didong
- Didong Niet
- Tari Saman
- Tari Bines
- Tari Guel
- Tari Munalu
- Tari Sining
- Tari Turun ku Aih Aunen
- Tari Resam Berume
- Tuah Kukur
- Melengkan
- Dabus
Makanan Khas
- Masam Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut Bekuah
- Cecah
- Pengat
- Gegaloh
Sumber referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo
diakses tanggal 18 februari 2016
http://www.wacananusantara.org/suku-gayo/
diakses tanggal 18 februari 2016
Post a Comment for "Sejarah dan Kebudayaan Suku Gayo Aceh - Pulau Sumatera"