Sejarah Asal Usul Gelar Andi Suku Bugis - Sulawesi Selatan
Pada artikel sebelumnya saya sudah membahas mengenai adat
dan senjata tradisional suku Bugis. Nah pada artikel kali ini kita akan masuk
lebih dalam lagi dalam budaya suku Bugis. Yang akan kita bahas adalah asal usul
Gelar Andi Suku Bugis.
Secara umum gelar Andi biasanya ditujukan pada para
bangsawan Bugis, atau mereka yang memiliki peran penting di masyarakat. Salah satunya
adalah keturunan Raja. Kenapa bisa para bangsawan bugis bergelar Andi? Siapa yang
memulainya dan alasannya kenapa? Yuk kita simak ulasannya dibawah ini.
Sejarah Gelar Andi Bugis
Versi 1
Nama Andi ini dimulai ketika 24 Januari 1713. Gelar ini
dipakai pada semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan keturuanan raja. Seperti:
1. Lapatau dengan putri Raja Bone sejati
2. Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan
kerajaan Gowa)
3. Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan
kerajaan Gowa)
4. Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa)
5. Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang
6. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan
kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut merupakan upaya VOC untuk membangun dan
mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua
bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim
dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi
sawerigading (Celebes). Namun (Alm) Jendral Muhammad Yusuf yang merupakan bangsawan
Bugis, enggan menggunakan gelar Andi yang merupakan produk exlusivisme buatan
VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Selain itu juga
bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar
“Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Versi 2
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih
dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam
Lontara tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi
penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri
hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah
“Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan
“Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae.
Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada
anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung
yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak
pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka.
Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota
pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja
Bone yang rela mati demi patettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan
kehormatan rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat
menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone
maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa
Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki.
Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya
adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana
baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya,
maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola,
cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana
baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka
pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka
yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Versi 3
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali
digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra
Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada
Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda.
Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai
Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai
keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar
“Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh
Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan
namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era
pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya
versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan
antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan
menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar
dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang
begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta
H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone
Versi 4
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis
Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkimpoian Bugis)
disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang
disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin
memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan
bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan
seorang berdarah bangsawan atau tidak.
Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan
menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya
proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan
seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk
menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis
sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus
montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Gelar Andi di Setiap Kerajaan Suku Bugis
Penggunaan gelar Andi di setiap kerajaan berbeda-beda. Di Soppeng
misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat
keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh. Dari sumber
berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut.
Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak
adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu
yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung
Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung
bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di
Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang
menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan
atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain.
Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk
keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar
dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu. Adapun
gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk
membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa.
Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan
Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul. Gelar
“Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905,
Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan
kepemimpinan lokal.
Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur
(Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda)
untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi
diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma,
Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar
Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus
diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini
yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap
kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin
anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan
kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar
berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan
yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok
anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang
selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika
dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih
tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan
‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan
kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok
dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti
pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana
tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah
terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kimpoi dengan sesama To Manurung/To
Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal
cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada
sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi
kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh
Arung Palakka.
FATIMAH BANRI WE BANRI GAU 1871 – 1895
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung
menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone.
Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We
Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kimpoi dengan sepupu satu kalinya
yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng
Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Yang menjadi
tanda tanya adalah :
Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih
ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya? Mengapa kata ‘Andi’ yg
digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi
Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden
atau Uwak atau dan lain-lain?
Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu
sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki,
Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :
Apabila yg memakai data dari system pemerintahan yang pada
proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian
Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama
Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro
dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang
gelar itu? Lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai
tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa
kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur. Apabila data
yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau
akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama
sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri
menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi
Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La
Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser
saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai
dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi
saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh
masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh
masyarakat setempat menjadi Tenggarong. Ini juga menjadi data akurat bahwa nama
Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan
akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda,
Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Nama Gelar Bugis selain Andi
Di bugis di kenal nama yang menjadi ciri khas gelar
kebangsawanan seperti Andi, Baso, Besse atau Tenri. Andi untuk keturunan
bangsawan asli yang paling tinggi tingkatannya atau kedua orang tuanya adalah
Andi maka secara otomatis maka anaknya juga bergelar Andi sedangkan jika orang
tuanya cuma satu maka di beri gelar Baso untuk laki-laki dan Besse untuk
perempuan. Tenri biasanya dipakai jika masih keturunan bangsawan. Selain itu
sering juga nama-nama tersebut digabung menjadi Andi Baso, Andi Besse, Andi
Tenri.
Penggunaan Gelar Andi dalam nama Bugis
- Andi Makkarella
- Andi Azis
- Andi Farida
- Andi Maddaremmeng
- Andi Makkatengnga
- Andi Mappanyukki
- Dll
Sejarah gelar Andi masih menjadi polemik karena memiliki cerita
sejarah yang cukup panjang. Seiring berkembangnya zaman, pemberian nama Andi
tidak sama seperti dahulu. Pemberian Nama Andi sudah banyak dipakai walaupun
kedua orang tuanya bukan Andi bahkan ada yang cuma punya kerabat bergelar Andi
makanya merekapun memberi nama mereka Andi, biasanya mereka ini adalah mereka
yang belum paham struktur dan silsilah serta pemberian nama gelar bangsawan
Andi.
Itulah sejarah singkat mengenai asal usul gelar Andi pada
masyarakat Bugis. Semoga bermanfaat.
Sumber referensi:
http://www.kaskus.co.id/thread/54d30b3b0f8b461d718b4574/asal-usul-gelar-nama-quotandiquot-masyarakat-bugis-sulawesi-selatan/
1. blogerbugis.blogspot.com
2. rappang.com
3. portalbugis.wordpress.com
4. kompasiana.com
5. anneahira.com
sumber gambar:
http://ruang12berbagi.blogspot.co.id/
Post a Comment for "Sejarah Asal Usul Gelar Andi Suku Bugis - Sulawesi Selatan"